YARSIPONTIANAK.ID (PONTIANAK) – Silaturahim berasal dari Bahasa Arab. Kata ini terdiri dari dua kata yaitu shilah yang berarti menyambung dan ar-rahmi yang berarti kasih sayang. Maka secara sederhana silaturahim bisa diartikan sebagai tindakan untuk menyambung kasih sayang. Dari kata ini juga memunculkan nuansa rahmat sebagai perwujudan nilai-nilai Ilahiyah.
Dalam salah satu kajiannya, mufassir Indonesia Prof Quraisy Syihab menjelaskan bahwa antara kata shilaturrahmi dan shilaturrahim meskipun dari akar kata yang sama namun ada perbedaan makna di dalamnya. Uniknya perbedaan ini tetap saling melengkapi dan memperkuat kedudukan kata itu sendiri.
Shilaturrahim adalah menyambung hubungan persaudaraan yang berasal dari satu rahim (peranakan) dan dalam hal ini tidak akan terputus sampai kapanpun. Karena berasal dari satu ayah, satu ibu sehingga ke zurriyat berikutnya.
Sementara makna shilaturrahmi bermakna menyambung hubungan persaudaraan yang didasari oleh kasih sayang kepada siapapun. Apakah memiliki hubungan karena satu rahim atau tidak.
Sejatinya persaudaraan memiliki makna yang jauh lebih luas sehingga jika dikelompokkan ada karena persaudaraan sedaerah, persaudaraan se kloter haji, persaudaraan se angkatan kuliah hingga dimaknai persaudaraan sesama muslim dan sesama manusia. Lebih luas lagi persaudaraan sebagai satu keturunan dari Nabi Adam dan Siti Hawa.
Dari sisi ini, maka shilah atau hubungan persaudaraan yang dibangun adalah persaudaraan lintas batas yang didasari oleh kasih sayang. Bukankah pernah kita dengar seorang yang mengatakan: “dengan si Fulan ini sudah seperti saudara”.
Meskipun tidak ada pertalian darah. Mengapa dikatakan demikian? Kasih sayanglah yang mendasarinya. Jadi jika semua dianggap saudara yang terjadi adalah saling salam, saling membantu, saling mendoakan, saling menghargai. Inilah sesungguhnya hakikat shilaturrahmi.
Menarik untuk diangkat seputar shilaturrahmi ini adalah ulasan Prof Nasar (Imam Masjid Istiqlal) yang menyebutkan bahwa shilaturrahmi ini tidak hanya terjadi sesama makhluk hidup, bahkan yang sudah berpindah alam pun harus tetap terjalin shilaturrahminya.
Doa rabbanagh firlana yang terdapat dalam QS. Al Hasyr: 10 adalah doa berisi permohonan kepada Allah SWT untuk mengampuni dosa dosa keluarga dan orang orang yang telah mendahului tau telah meninggal. Lengkapnya terjemahannya adalah: Ya Allah, ya Tuhan Kami, ampunilah saudara saudara kami yang telah mendahului kami dengan membawa iman…
Pendapat Prof Nasar mengingatkan kepada kita bahwa shilaturrahmi yang dibangun tidak hanya sebatas makhluk bernama manusia yang hidup, Meraka yang sudah meninggal dunia pun harus tetap “dikunjungi” dengan iringan doa dan amal shaleh.
Tidak hanya itu, baik dan bagusnya shilaturrahmi juga lintas manusia, shilaturrahmilah dengan pepohonan, hewan, tumbuh-tumbuhan dan makhluk Allah lainnya.
Meminjam istilah Prof. Komarudin Hidayat (Mantan Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta), jalinlah komunikasi tidak hanya hablub minallah, hablun minannas tapi juga hablun minan nafs agar terdapat pencerahan untuk diri sendiri.
Untaian doa dalam Qs. Al Hasyr: 10 di atas mengajarkan kepada kita bahwa karakter orang beriman adalah saling mendoakan yang dalam sejarahnya sejak zaman Rasulullah Saw tercermin dari para muhajirin dan anshar hingga orang orang beriman di akhir zaman adalah saling mendoakan dan menyayangi.
Shilaturrahmi dengan memperluas makna cakupannya akan menjadikan semangat saling menyayangi dan mendoakan akan membuat tautan untuk saling mengingatkan. Mengingatkan untuk kebaikan.
Hanya jangan sampai kita menyempitkan makna shilaturrahim atau menjalin persaudaraan sebatas bulan tertentu dan hari tertentu. Bermaafan dan shilaturrahmilah dengan iringan doa untuk saling menguatkan dan mengingatkan meskipun diluar Ramadan dan Syawal. Tidak ada jaminan masihkah kita bertemu dengan Ramadan tahun yang akan datang.
Bermaafan dan saling mendoakan adalah kebiasaan terpuji yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
Semoga Allah SWT Menerima Ibadah Kita dan Mengelompokkan Kita sebagai HambaNya yang Istiqamah di Jalan Kebaikan.*
Penulis : Sholihin HZ (Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat)