Pengamat ekonomi Kalimantan Barat Prof. Dr. Eddy Suratman |
YARSIPONTIANAK.COM
(PONTIANAK) – Pengamat ekonomi Kalimantan
Barat Prof. Dr. Eddy Suratman menyebut langkah menaikkan harga BBM subsidi
memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Menurut Eddy, langkah tersebut
diambil pemerintah demi menyelamatkan keuangan negara yang dalam kurun waktu
tiga tahun terakhir selalu mengalami defisit.
Hal tersebut
disampaikan Prof. Dr. Eddy Suratman saat menjadi narasumber pada Focus Group Discussion
(FGD) Penyesuaian Harga BBM dan Langkah Pengendalian Pemerintah di Hotel
Mercure Pontianak pada hari Selasa (6 September 2022).
“Tiga
tahun belakangan defisit anggaran Indonesia telah lebih dari tiga persen
padahal Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah
membatasi maksimum defisit APBN itu tiga persen. Kita sudah melampauinya dalam
3 tahun berturut-turut. Tahun depan Pemerintah Indonesia harusnya kembali
di bawah tiga persen sesuai dengan undang-undang. Hal tersebut sudah
menjadi target pemerintah dalam konteks konsolidasi fiskal APBN akan menjadi
defisit tahun depan 2,97%,” ujarnya.
Eddy
berpendapat, pemerintah sebetulnya memiliki opsi lain untuk menyelamatkan
keuangan negara, seperti menaikkan pajak dan menambah utang. Namun, kedua opsi
tersebut dikatakannya terlalu riskan diambil karena bakal memicu kemarahan
masyarakat.
“Kalau
menaikkan pajak, masyarakat marah, Kalau itu tidak bisa pilihan kedua untuk
menaikkan pendapatan membiayai pembangunan adalah tambah utang. Kalau tambah
utang, rakyat malah digoreng terus secara politik. Pemerintah tahunya hanya
pandai berhutang, rakyat marah,” tuturnya.
“Kalau
dari sisi pendapatan tak bisa kita naikkan, pilihan kedua kita lakukan turunkan
belanja, kurangi belajar infrastruktur, kurangi belanja kesehatan tetapi kita
perkuat. Kalau kurangi belanja pendidikan makin kuat mahasiswa demo. Sebetulnya
yang paling ideal terjadi adalah efisienkan proses pembangunan ini. Sebenarnya
dituntut oleh mahasiswa juga kurangi bagian-bagian yang masuk area korupsi yang
sebetulnya itu membebani belanja negara. Akan tetapi, itupun sulit dan
pemerintah sampai pada belanja subsidi yang dikurangi,” lanjutnya.
Mantan Dekan
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Tanjungpura itu menambahkan bahwa pada saat
masih aktif sebagai Anggota Tim Asistensi Menteri Keuangan, pihaknya pernah
melakukan simulasi subsidi BBM. Hasilnya pun cukup mencengangkan karena hanya
sekitar 15 persen penduduk tidak mampu yang menikmati subsidi tersebut. Dengan
kata lain, subsidi BBM selama ini tidaklah tepat sasaran dan lebih banyak
dinikmati oleh kalangan mampu.
“Dari
subsidi yang diberikan pemerintah melalui subsidi BBM, hanya sekitar 15% yang
dinikmati oleh penduduk dengan pendapatan 25% terbawah. Sementara 77% subsidi
BBM itu dinikmati oleh penduduk dengan pendapatan 25% tertinggi. Ini kan
sebetulnya tidak tepat sasaran. Kalau misalnya di APBN 2022 ada 52,4 triliun
rupiah subsidi BBM plus kompensasinya, maka 77% dari situ akan terjadi
kemungkinan dinikmati oleh orang yang sebetulnya tidak berhak,” katanya.
Prof. Eddy
turut menyarankan kepada pemerintah agar kebijakan menaikkan harga BBM subsidi
ini harus diikuti dengan pemberian kompensasi kepada masyarakat kurang mampu.
Pemberian BLT BBM yang sudah dimulai pemyalurannya disebut Eddy sebagai langkah
yang sudah tepat, meskipun diakuinya hal itu bukanlah pilihan terbaik.
“Harapan
saya kepada pemerintah yang paling penting itu adalah selamatkan orang miskin.
Di Indonesia sekarang angka kemiskinan sekitar 10,2%, atau sekira 26 juta
mendekati 27 juta orang. Pastikan mereka dapat kompensasi, misalnya pemerintah
bisa memberikan bantuan cash, meskipun bantuan cash ini sebetulnya bukan
pilihan terbaik karena pemberdayaan itu jauh lebih baik dari bantuan cash. Akan
tetapi, dalam situasi sekarang bantuan cash itu diperlukan sebagai bantalan
sosial untuk orang-orang yang betul-betul miskin,” ungkapnya.
Untuk
mencegah adanya pemberian kompensasi yang tidak tepat sasaran, Eddy pun meminta
pemerintah daerah untuk memperbaiki data warga tidak mampu. Di samping itu,
pascapenyesuaian harga ini, dirinya juga menyarankan Pertamina untuk memastikan
stok BBM tetap ada di seluruh SPBU.
“Jangan
sampai sudah naik harganya, antri lagi tak dapat pula. Kalau sampai ada
antrian, itu menyebabkan polisi tentara menambah pekerjaan mereka juga larena
waktu yang seharusnya bisa digunakan untuk bekerja menjadi digunakan untuk
antri,” pungkasnya. (tim liputan).
Editor : Humas
Yarsi Pontianak