Tradisi Kue Keranjang Dan Tahun Baru Imlek |
YASRPONTIANAK.COM
(PONTIANAK) – Berbicara mengenai kuliner
Tionghoa Indonesia tidak bisa lepas dari perayaan Tahun Baru Imlek atau lazim
disebut juga Sincia setiap tahunnya.
Di dalam
kesempatan perayaan Tahun Baru Imlek atau lazim disebut juga Sincia inilah para
keluarga unjuk kepiawaiannya menyajikan masakan khas andalan keluarga
masing-masing dengan bermacam variasi yang tak terhitung jumlahnya.
Perayaan
Imlek atau tahun baru Cina sangat penting bagi masyarakat Tionghoa di dunia.
Terlebih, pada malam pergantian tahun. Pada momen ini, semua anggota keluarga
berkumpul dan makan malam bersama.
Dalam sistem
penanggalan Tionghoa, malam pergantian tahun ini menandakan berakhirnya musim
dingin dan dimulainya musim semi, serta tahun baru yang penuh dengan
pengharapan.
Istilah atau
penulisan Tahun Baru Imlek hanya dikenal di Indonesia. Kata Imlek adalah bunyi
dialek Hokkian yang berasal dari kata yin li (baca: in li) yang berarti
penanggalan bulan alias lunar calendar. Penanggalan Tiongkok berdasarkan
peredaran bulan di tata surya sehingga disebut dengan Yin Li.
Sementara
penanggalan yang dikenal sekarang, dan dipakai luas seluruh dunia disebut
dengan yang li, dalam bahasa Mandarin artinya penanggalan matahari.
Imlek
dikenal juga dengan nong li (baca: nung li), artinya penanggalan petani, di
mana hal ini bisa dimaklumi, sebagian besar orang zaman dulu adalah bertani.
Para petani tersebut mengandalkan kemampuan mereka membaca alam, pergerakan
bintang, rasi bintang, bulan, dan benda angkasa yang lain untuk bercocok tanam.
Apalagi di
Tiongkok yang empat musim, perhitungan tepat dan presisi harus handal untuk
mendapatkan pangan yang cukup.
Beberapa
menu yang paling sering dihidangkan saat perayaan Imlek bagi masyarakat
Tionghoa Indonesia, terutama di Pontianak dan Singkawang dan sekitarnya, antara
lain kue keranjang.
Bukan
sekadar sebagai hidangan, tetapi di balik itu, kue keranjang juga melambangkan
arti dan pengharapan tersendiri. Harapan atas tahun baru yang penuh dengan
kemakmuran dan keberuntungan.
Kue
keranjang dengan berbagai nama lainnya: kue bakul dan dodol cina, kue keranjang
yang dikenal sekarang hanya ada di Indonesia, dengan sedikit penyebaran di
Singapura dan Malaysia.
Kue
keranjang mirip dengan dodol. Terbuat dari gula merah dan tepung ketan, rasanya
sangat manis dan legit. Pembuatannya memakan waktu yang lama, dari 6 hingga 12
jam.
Tekstur
lengket kue keranjang ini melambangkan keeratan hubungan keluarga. Selain
dimakan langsung saat masih lembut, kue keranjang juga dapat dinikmati beberapa
hari setelahnya dengan cara dibalur telur, lalu digoreng.
Kue
keranjang lengket manis ini di negeri asalnya bernama nian gao (baca: nien kau)
atau nama lain dalam dialek Hokkian disebut thi kue (kue manis).
Disebut kue
keranjang karena dulunya menggunakan keranjang-keranjang kecil terbuat dari
anyaman rotan untuk mencetak kue ini. Sebagian lidah menyebutnya kue ranjang
kependekan dari keranjang. Di tempat asalnya, kue keranjang ini tidak
berbentuk seperti yang dikenal sekarang, penyajiannya juga lebih mirip kwetiau
goreng.
Dari negeri
asalnya yang bernama nian gao yang tawar, kemudian berkembang di Negeri Selatan
menjadi rasa manis dan dikenal sebagai Kue Keranjang.
Perayaan
Chinese New Year sebenarnya adalah perayaan menyambut musim semi yang disebut
dengan chun jie (baca: juen cie), yang artinya menyambut musim semi.
Musim semi
disambut dengan sukacita karena musim dingin akan segera berlalu dan tibalah
saat para petani untuk menanam lagi. Tanaman pangan terutama padi (Tiongkok
Selatan) dan kebanyakan gandum (Tiongkok Utara) serta tanaman pertanian
lainnya. Karena mengandalkan alam untuk kehidupan mereka, menyambut datangnya
musim semi merupakan keharusan yang dirayakan dengan meriah.
Selain
disebut Tahun Baru Imlek, banyak juga yang menyebutnya dengan Sincia, yang juga
berasal dari dialek Hokkian, dari asal kata xin zheng (baca: sin ceng). Kata
ini merupakan kependekan dari “bulan pertama yang baru”, merujuk pada penulisan
“bulan pertama” dalam penanggalan Imlek dituliskan dalam dialek Hokkian
berbunyi Cia Gwe. (Dari berbagai referensi).
Penulis adalah
Syafaruddin Usman Peminat Kajian Sejarah dan Budaya Kontemporer Kalimantan
Barat